1 Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan distribusi “fungsional” atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indikator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat.
1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran
Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan sumbernya.
Contoh, Tabel 1 di bawah ini yang memperlihatkan distribusi pendapatan yang walaupun datanya hipotetis, namun biasa ditemui di satu negara berkembang.
Tabel 1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa Pendapatan – Kuintil dan Desil
Individu | Pendapatan/orang (unit uang) | Pangsa (%) Kuintil | Pangsa (%) Desil |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 | 0,8 1,0 1,4 1,8 1,9 2,0 2,4 2,7 2,8 3,0 3,4 3,8 4,2 4,8 5,9 7,1 10,5 12,0 13,5 15,0 | 5 9 13 22 51 | 1,8 3,2 3,9 5,1 5,8 7,2 9,0 13,0 22,5 28,5 |
Total (pendapatan nasional) 100 | 100 | 100 | |
Catatan: Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya = 14/51 = 0,28. |
Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu (atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2 dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran, yakni: (1) Rasio Kuznets, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.
(1) Rasio Kuznets
Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat ditemukan dalam kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 20 persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah. Rasio yang sering disebut sebagai rasio Kuznets inilah (dinamai berdasarkan nama pemenang Nobel Simon Kuznets), yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di satu negara. Rasio ketimpangan dalam contoh ini adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar 0, 28.
(2) Kurva Lorenz
(3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
Rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) atau sederhananya disebut koefisien Gini (Gini coefficient), mengambil nama dari ahli statistik Italia yang merumuskannya pertama kali pada tahun 1912. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0,20 hingga 0,35.
1.2 Distribusi Fungsional
Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi (functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukanlah merupakan perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini.
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan bersumber dari asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya berada pada taraf minimum), maka kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini dikalikan dengan seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran upah (total wage bill).
1.3 Perkembangan Indeks Ketimpangan
Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode 1964/65 sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk menghitung koefisien Kuznets.
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPMA dan UUPMDN dan beberapa kebijaksanaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa sehingga distribusi pendapatan di perkotaan Jawa menjadi lebih timpang. Hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni program pembangunan pertanian dan pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS, lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa sehingga distribusi pendapatannya menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun). Koefisien Gini secara keseluruhan di perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif tetap sekitar 20 persen dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap (sekitar 42 persen), sehingga koefisien Kuznets juga relatif konstan (bedanya 0,01 karena pembulatan), dan koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama dari 0,33 (pada tahun 2002) menjadi 0,32 pada dua tahun setelah itu. Dari tahun 2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga koefisien Kuznets mengalami penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke 2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Kuznets dan menaiknya koefisien Gini) mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya harga bensin ketika itu. Kenaikan harga-harga rupanya lebih menguntungkan kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para demonstran yang menentang kenaikan harga premium waktu itu.
2 Kemiskinan
Yang dimaksud dengan kemiskinan di sini adalah penduduk miskin, yakni penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu – atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar paritas daya beli (ppp). Kemiskinan absolut dapat dan memang terjadi di mana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan, walaupun persentasenya terhadap jumlah penduduk berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
2.1 Mengukur Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala (headcount)”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai bagian dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala (headcount index), H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah satu standar minimum di mana seseorang hidup dalam “kesengsaraan absolut manusia”, yaitu ketika kesehatan seseorang sangat buruk.
Dalam banyak hal, metode dan penyederhanaan perhitungan jumlah penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih mengandung banyak keterbatasan. Oleh karena itu beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan indikator jurang kemiskinan (poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis itu. Pada peraga di bawah ini, meskipun di negara A dan B, 50 persen penduduknya sama-sama masih berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih lebar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.
Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kedua prinsip yang pertama (anonimitas dan independensi populasi) sangat mirip karakteristik yang digunakan untuk membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa dan jika anda memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai monotonisitas yang kuat (strong monotonicity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas, namun bukan yang kuat. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lain konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.
2.2 Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin
Kita telah memahami dari pembicaraan sebelumnya bahwa perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka akan semakin rendah jumlah kemiskinan absolut. Akan tetapi sebagaimana telah diungkapkan, tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan absolut. Pemahaman terhadap hakikat distribusi ukuran pendapatan merupakan landasan dasar bagi setiap analisis masalah kemiskinan satu negara yang berpendapatan rendah.
Di Indonesia, nelayan ikan sangat miskin dibandingkan dengan petani. Hal ini disebabkan karena nelayan tidak punya tanah dan proses produksinya tidak bersifat cultivation, seperti halnya di pertanian. Pendapatan nelayan tiap hari sangat tergantung pada berapa jumlah ikan yang ia bisa tangkap di laut dan jual di pasar pada hari itu. Jelas jumlah ikan yang ia bisa kumpulkan selama, misalnya, tiga bulan jauh lebih sedikit daripada hasil seorang petani pada saat panen. Ditambah lagi, industri ikan di Indonesia tidak berkembang seperti industri-industri pengolahan komoditas-komoditas pertanian. Dengan demikian, di Indonesia nilai tambah produk pertanian jauh lebih tinggi daripada nilai tambah dari produk-produk ikan.
Pertanyaannya sekarang: kenapa sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan di Indonesia. Kemungkinan ada tiga faktor penyebab utama. Pertama, tingkat produktivitas yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja di sektor tersebut terlalu banyak, sedangkan tanah, kapital, dan teknologi terbatas dan tingkat pendidikan petani yang rata-ratanya sangat rendah. Kedua, daya saing petani atau dasar tukar domestik (terms of trade) antar komoditas pertanian terhadap komoditas industri semakin lemah. Perbedaan harga ini disebabkan antara lain oleh perbedaan nilai tambah antara hasil pertanian dan hasil industri serta tata niaga yang lebih menguntungkan produsen di sektor industri. Ketiga, tingkat diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis komoditas bukan bahan makanan yang memiliki prospek pasar (terutama ekspor) dan harga yang lebih baik masih sangat terbatas.
2.4 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya atau utama serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh, sering dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Sekarang ini, seseorang hanya dengan tingkat pendidikan SD akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan, terutama di sektor modern (formal) dengan pendapatan yang baik. Akan tetapi, pertanyaannya adalah: apakah tingkat pendidikan yang rendah itu adalah penyebab utama/sebenarnya? Apabila banyak orang di Indonesia hanya berpendidikan SD karena orang tua mereka tidak sanggup membiayai pendidikan lanjutan, maka jelas penyebab sebenarnya adalah masalah biaya atau lebih tepatnya lagi disebabkan oleh kemiskinan (orang tua mereka). Kalau ditelusuri ke belakang, pertanyaan selanjutnya adalah: kenapa orang tua mereka miskin dan jawabannya juga karena pendidikannya rendah? Jadi terdapat semacam “lingkaran setan” (vicious circle) dalam masalah timbulnya kemiskinan.
Hal Ini selanjutnya disebabkan oleh sejumlah faktor lainnya, termasuk sistem penghargaan (rewarding) yang kurang baik, dan kinerja yang buruk. Di Eropa Barat atau Amerika Serikat, setiap jenis pendidikan atau keahlian sudah mempunyai bidang kegiatan (sektor atau subsektor) sendiri dan mendapat penghargaan yang baik sesuai dengan jenis pekerjaan. Sedangkan di Indonesia, banyak bengkel mobil atau motor berupa kegiatan informal dengan upah yang rendah.
2.5. Pertumbuhan dan Kemiskinan
Biasanya, banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk kepada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Di samping itu, terdapat pendapat yang santer terdengar di kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat yang mengatakan bahwa konsentrasi penuh untuk mengurangi kemiskinan akan memperlambat tingkat pertumbuhan sebanding dengan argumen yang menyatakan bahwa derajat ketimpangan yang rendah akan mengalami tingkat pertumbuhan yang lambat juga. Khususnya, jika terdapat redistribusi pendapatan atau aset dari golongan kaya ke golongan miskin, bahkan jika melalui pajak progresif, terdapat kekhawatiran bahwa jumlah tabungan akan menurun, Namun, sementara tingkat tabungan golongan menengah biasanya adalah yang tertinggi, tingkat tabungan marjinal golongan miskin pun sebenarnya tidak kecil, jika dipandang dari perspektif menyeluruh. Selain tabungan keuangan, golongan miskin cenderung membelanjakan tambahan pendapatan untuk memperoleh gizi yang lebih baik, pendidikan untuk anak-anak mereka, perbaikan kondisi rumah, dan pengeluaran-pengeluarn lain yang lebih mencerminkan investasi dan bukan konsumsi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang kaum miskin. Paling tidak terdapat lima alasan mengapa kebijaksanaan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan.
Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti. Faktor-faktor ini secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil daripada jika distribusi pendapatan lebih merata.
Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara yang sekarang sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal karena hematnya atau hasrat mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian yang besar dari pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri.
Ketiga, pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah, dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat.
Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan pakaian, secara menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk barang-barang mewah impor.
Kelima dan yang terakhir, penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologis yang kuat bagi meluasnya partisipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya kesenjangan pendapatan dan besarnya kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong negatif materi dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi.
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan.
2 Pilihan Kebijaksanaan
Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan, yakni:
- Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi. Kebijaksanaan ini dapat berupa:
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah menentukan tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang ditentukan di pasar bebas atas permintaan dan penawaran. Dengan kebijaksanaan ini para investor menganggap buruh menjadi terlalu mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang hemat tenaga kerja. Bagian upah pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan kemungkinan jumlah orang miskin menjadi lebih besar.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran. Ini bisa dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi), penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-barang modal seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif terhadap barang konsumsi.
Kiranya kita bisa simpulkan bahwa penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu negara meraih pemerataan pendapatan dan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin, namun apa yang telah dikerjakan oleh Indonesia selama ini bertentangan, sehingga distribusi pendapatan tetap dan malah makin timpang dan jumlah orang miskin tetap dalam jumlah yang besar.
- Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau faktor produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang membatasi jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah sampai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Cara lain dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial dengan bunga pasar yang wajar (bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi) bagi para wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut “pinjaman mikro” seperti kredit usaha rakyat, kredit usaha tani,dan sebagainya.
- Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.
- Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).
Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemerataan distribusi dan program pengentasan kemiskinan seperti disajikan di atas, ternyata ketimpangan distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin yang luput dari program, di samping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk menyaring orang-orang yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang disediakan
Kesimpulan
Ada dua jenis distribusi pendapatan, ukuran dan fungsional. Dari distribusi ukuran dapat dibuat kurva Lorens, atau dihitung koefisien Kuznets dan koefisien Gini yang dapat dipakai untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. Ukuran yang paling biasa dipakai di Indonesia adalah Koefisien Kuznets, koefisien Gini, sedangkan kurva Lorens tidak. Distribusi fungsional memberikan kerangka analisis kebijaksanaan yang menjelaskan keadilan distribusi pendapatan berdasarkan kepemilikan faktor produksi. Dari data mengenai koefisien Gini dapat dikatakan bahwa ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa dan juga di Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa dan di Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976, namun tetap pada ketimpangan sedang. Bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia, masih tetap pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini, meskipun pada awalnya (2032-2004) sedikit membaik untuk kemudian menjadi sedikit lebih timpang pada 2005 dan membaik lagi 2006 untuk akhirnya memburuk lagi tahun 2007.
Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, atau dengan kata lain, banyak penduduk yang hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu – atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Ada beberapa ukuran untuk penduduk miskin, yakni dengan menghitung jumlah mereka atau disebut “hitungan per kepala (headcount)”, indeks per kepala (headcount index), jurang kemiskinan (poverty gap, total atau average atau normalized), Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) dan human poverty index (indeks kemiskinan manusia = IKM). Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yakni prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kriteria yang sering dipakai di Indonesia adalah jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin. Data menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan persentase penduduk miskin dari lebih dari 40 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 54 juta orang) pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996, untuk kemudian sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi sekitar 23 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah itu terus mengalami penurunan sehingga menjadi sekitar 16 persen dari jumlah penduduk (atau sejumlah 37 juta orang) pada tahun 2007.
Jumlah penduduk miskin yang banyak ini merupakan tugas penting dan berat mengingat tujuan pembangunan milenium yang sekarang didengungkan dan untuk keperluan itu pemerintah perlu mengetahui siapa penduduk miskin tersebut beserta karakteristiknya, serta menentukan sikap yang tegas apakah pertumbuhan yang tinggi selalu dibarengi dengan kemiskinan untuk dapat menyusun berbagai kebijakan yang memihak kaum miskin. Berbagai kebijaksanaan yang bertujuan untuk memperbaiki distribusi pendapatan kukuran dan fungsional telah dilaksanakan oleh pemerintah, namun sampai sejauh ini tampaknya baru berhasil mempertahankan pembagian pendapatan pada tingkat ketimpangan sedang dan belum begitu berhasil menurunkan jumlah orang miskin. Hal yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh karena banyak penduduk yang mestinya tidak berhak atas program pemerintah tertentu namun menikmatinya.
Catatan Belakang
1) Diambil dari Todaro dan Smith, 2003.
2) Diambil dari Tambunan, 2001
thx gan
ReplyDeletemateri perkuliahan Perekonomian Indonesia yang saya cari ada disini
sukses selalu
thanks ya infonya !!!
ReplyDeletewww.bisnistiket.co.id