my blog

http://dedysuarjaya.blogspot.com // follow @suarjayadedy

September 17, 2010


PERAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN DAN PELAPORAN KINERJA LINGKUNGAN OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PUBLIK DI INDONESIA

ABSTRAK
This study examined the impact of Environmental regulatory factors issued by Indonesian Government and environmental management proactive on the environmental disclosure in firms' annual report among Public Indonesian Companies. By using two models, the purpose of the study is to analysis of environmental regulation role dedicated to environmental disclosure.

Sample were taken from companies published in Jakarta Stock Exchange (secondary data) and their manager (primary data), selected 100 companies by using purposive random sampling, whereby resulted 53 companies. The research used two models to analysis the impact of regulatory factors to environmental disclosure.  First, a regression analysis and discriminant analysis was used to test the impact of regulatory factors on the environmental disclosure, through an environmental management proactive variable. Second, the discriminant analysis was used to test the impact of regulatory factors on the relation between environmental management proactive and environmental disclosure.
.
This study revealed that regulatory factors and environmental management proactive are predictor variables of the environmental disclosure, where the government regulation (regulatory factors) role is meaningful.























Keyword: regulatory factors; environmental management proactive; environmental disclosure
Latar Belakang
            Problem lingkungan Indonesia sekarang ini boleh dibilang luar biasa. Mulai dari bencana alam, perubahan iklim hingga kerusakan ekosistem. Berbagai aspek penyebab bencana bisa saja bersumber dari berbagai faktor, namun pengaruh faktor buruknya perilaku manusia terhadap kelestarian alam nampaknya merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan.
Di Indonesia, tingkat kerusakan hutan juga sudah berada jauh di atas batas normal. Sekitar 1,2% per-tahun hutan Indonesia rusak akibat penebangan liar dan kurangnya keseriusan pemerintah menangani hutan. Implikasi dari kenyataan ini adalah rusaknya ekosistem dan berbagai sumber daya alam akibat banjir, tanah longsor dan pemanasan global.
Terlepas dari persoalan apakah bencana sekarang ini merupakan warisan buruknya pengelolaan lingkungan di masa lalu, yang jelas manajemen lingkungan di Indonesia mengalami keterpurukan. Law enforcement perlindungan lingkunganpun mengalami kemandulan dengan semakin meningkatnya illegal logging di berbagai daerah. Transaparansi publik penanganan bencana lingkungan seperti kasus Lapindo juga tertutup rapat, dan manajemen lingkungan yang dilakukan pemerintah terkesan tambal sulam, sekedar menumbuhkan emphaty masyarakat yang sudah mulai menipis.
Salah satu bukti rendahnya penerapan manajemen lingkungan di Indonesia adalah tidak diwajibkannya pelaporan lingkungan bagi perusahaan-perusahaan go publik di Indonesia. Pelaporan lingkungan bagi perusahan publik di Indonesia sebatas voluntary disclosure yang manajemennya diatur tersendiri melalui kementrian lingkungan hidup. Kran transparansi pengelolaan lingkungan yang tidak terbuka lebar ini memicu apriori masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan publik. Padahal, permasalahan lingkungan dewasa ini sangat menjadi perhatian, baik oleh konsumen maupun investor. Investor asing memiliki kecenderungan mempersoalkan masalah pengadaan bahan baku dan proses produksi yang terhindar dari munculnya permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan tanah, rusaknya ekosistem, polusi air, polusi udara dan polusi suara.
Penelitian terdahulu oleh Cahyono (2002) terhadap perusahaan tekstil, jamu dan kosmetik, sabun mandi, pupuk dan gas sebagai perusahaan yang rentan terhadap lingkungan di Kota Semarang, hasilnya mengindikasikan bahwa sejumlah 66,7% dari perusahaan yang menjadi responden tidak berperan aktif dalam pembentukan Undang-undang / Peraturan mengenai lingkungan, baik secara individu maupun melalui asosiasi. Hasil lain mengindikasikan pula bahwa sebanyak 66,7% dari responden belum pernah mengikuti penyuluhan tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Lebih lanjut, fakta empirik ini juga menunjukkan rendahnya tindakan proaktif perusahaan dalam menciptakan kepedulian terhadap lingkungan.
Kepedulian kepada lingkungan sebenarnya juga muncul akibat berbagai dorongan dari pihak luar perusahaan (Berry dan Rondinelli, 1998), antara lain: pemerintah, konsumen, stakeholder dan persaingan. Untuk menindaklanjuti berbagai dorongan ini, maka perlu diciptakan pendekatan secara proaktif dalam meminimalkan dampak lingkungan yang terjadi. Hasil akhir tindakan proaktif manajemen lingkungan tersebut adalah terciptanya kinerja lingkungan perusahaan yang lebih baik.
Penelitian Pfleiger et al (2005) menunjukkan bahwa usaha-usaha pelestarian lingkungan oleh perusahaan akan mendatangkan sejumlah keuntungan, diantaranya adalah ketertarikan pemegang saham dan stakeholder terhadap keuntungan perusahaan akibat pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab dimata masyarakat. Hasil penelitian Pfleiger et al (2005) juga mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan yang baik dapat menghindari klaim masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kualitas produk yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi.
Peran pemerintah diakui sangat penting dalam mendorong terciptanya kinerja lingkungan, dan lebih jauh lagi mendorong perusahaan go publik untuk melaporkan pengelolaan lingkungannya. Pelaporan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan merupakan faktor penting dalam transparansi pengelolaan lingkungan. Hal ini karena perusahaan merupakan salah satu pihak penyumbang utama pertumbuhan ekonomi suatu negara, sekaligus sebagai penyumbang dominan terhadap persoalan lingkungan akibat proses produksinya yang menggunakan sumber-sumber alam. Ini berarti pengungkapan laporan pengelolaan lingkungan dalam annual report merupakan bentuk pertanggungjawaban sosial untuk mengetahui dampak ekologi atas suatu prestasi ekonomi perusahaan. Persoalannya memang, pelaporan manajemen lingkungan oleh perusahaan di Indonesia masih dalam sebatas voluntary disclosure. Sepanjang pelaporan manajemen lingkungan masih bersifat voluntary, maka saling tuding dan lempar tanggungjawab antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat terhadap persoalan kerusakan lingkungan akan senantiasa terjadi. Oleh karena itu, penelitian yang menguji sejauhmana peran pemerintah dalam pengelolaan dan pelaporan lingkungan perusahaan perlu dilakukan. Peran pemerintah menjadi sentral perhatian pengelolaan lingkungan sebab pemerintah selaku pihak yang memiliki tanggungjawab dan kewenangan atas regulasi lingkungan.
Oleh karena itu, penelitian yang menguji peran kebijakan pemerintah dalam pengelolaan dan pelaporan kinerja lingkungan oleh perusahaan perlu dilakukan dengan merinci rumusan masalah secara lebih spesifik sebagai berikut:
1.        Apakah kebijakan pemerintah mampu mempengaruhi tindakan manajemen lingkungan dan pelaporan lingkungan oleh perusahaan?
2.        Apakah kebijakan pemeritah mampu mendorong pelaporan lingkungan oleh perusahaan melalui mediasi manajemen lingkungan perusahaan?
3.        Apakah kebijakan pemerintah mampu memoderasi hubungan antara perilaku manajemen lingkungan dengan pelaporan lingkungan oleh perusahaan?

Tujuan Penelitian
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.      Pengaruh kebijakan pemerintah terhadap manajemen dan pelaporan lingkungan perusahaan.
2.      Pengaruh tindakan manajemen lingkungan oleh perusahan terhadap pelaporan lingkungan.
3.      Pengaruh kebijakan pemeritah terhadap pelaporan lingkungan oleh perusahaan melalui mediasi manajemen lingkungan perusahaan
4.      Pengaruh kebijakan pemerintah dalam memoderasi hubungan antara perilaku manajemen lingkungan dengan pelaporan lingkungan oleh perusahaan
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan mengenai arti penting kebijakan pemerintah dalam regulasi pengelolaan dan pelaporan lingkungan oleh perusahaan.
REVIEW LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pelaporan lingkungan (environmental disclosure) oleh perusahaan telah mengalami peningkatan yang signifikan sejak empat dekade terakhir (Bates, 2002; Welford, 1998). Secara umum, penelitian-penelitian mengenai  environmental disclosure difokuskan pada hubungan antara kinerja lingkungan dengan environmental disclosure (Patten, 2002; Deegan dan Rankin, 1996), kualitas environmental disclosure (Cunningham & D. Gadenne, 2003; Gamble et al, 1995; Belal 2000), hubungan environmental disclosure dengan strategi (Niskanen dan Terhi Nieminen, 2001; Solomon dan Linda Lewis, 2002; Richardson, dan M. Welker, 2001) dan perbandingan pelaporan environmental disclosure antar negara (Nyquist, 2003).
Review yang dilakukan oleh Berthelot, et al, (2003) menunjukkan bahwa penelitian mengenai hubungan antara environmental disclosure   dengan kinerja keuangan cukup banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan environmental performance dalam annual report masih sangat jarang dilakukan. Beberapa peneliti umumnya menggunakan variabel kinerja keuangan atau pasar modal sebagai prediktor bagi kinerja lingkungan atau environmental disclosure itu sendiri (lihat Stanwick dan Peter A. Stanwick, 2000; Reichardson dan Welker, 2001; Cormier dan Magnan, 2001). Di Indonesia sendiri penelitian yang menguji hubungan  kedua variabel telah dilakukan oleh Cahyono (2002), Susy (2005), Sembiring (2005), dan Muhammad Ja'far dan Dista (2006).
Hasil-hasil penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa faktor non keuangan merupakan explanatory variables penting bagi environmental disclosure. Guthrie dan Parker (1989) menunjukkan bahwa hubungan antara environmental disclosure dengan kinerja keuangan sangat lemah. Penelitian Pattern (1991, 1992) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan (size) dan industry merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi environmental disclosure, namun profitability bukan merupakan explanatory variables bagi environmental disclosure. Pattern (2002) membuktikan bahwa social disclosure merupakan respon dari dorongan dan perilaku sosial.
Brown dan Deegan (1998)   menguji hubungan antara tekanan media cetak terhadap tingkat environmental disclosure dalam annual report. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Neu, et al, (1998) membuktikan bahwa voluntary environmental disclosure berhubungan negatif dengan profitabilitas, tetapi berhubungan positif dengan tekanan dan lingkungan media terhadap faktor lingkungan serta kuantitas dari voluntary environmental disclosure lainnya. Di Indonesia, penelitian yang menghubungkan antara faktor non-keuangan, seperti ukuran dan profil dewan komisaris,  terhadap  corporate social responsibilty disclosure dilakukan oleh Sembiring (2005). Hasilnya menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kedua variabel. Dalam penelitian yang sama, Sembiring (2005) juga menguji hubungan antara variabel profitabilitas dan leverage dengan corporate social disclosure, namun hasilnya tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Dorongan Faktor Eksternal terhadap Manajemen Lingkungan
Berry dan Rondinelly (1998), mensinyalir ada beberapa kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan manajemen lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Regulatory demand, tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan muncul sejak 30 tahun terakhir ini, setelah masyarakat meningkatkan tekanannya kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai dampak meluasnya polusi. Sistem pengawasan manajemen lingkungan menjadi dasar untuk skor lingkungan, seperti program-program kesehatan dan keamanan lingkungan. Perusahaan merasa penting untuk bisa mendapatkan penghargaan di bidang lingkungan, dengan berusaha menerapkan prinsip-prinsip TQEM secara efektif, misalnya dengan penggunaan tehnologi pengontrol polusi melalui penggunaan clean technology.
2.      Cost factors, adanya komplain terhadap produk-produk perusahaan, akan membawa konsekwensi munculnya biaya pengawasan kualitas yang tinggi, karena semua aktivitas yang terlibat dalam proses produksi perlu dipersiapkan dengan baik. Konseksensi perusahaan untuk mengurangi polusi juga berdampak pada munculnya berbagai biaya, seperti penyediaan pengolahan limbah, penggunaan mesin yang clean technology, dan biaya pencegahan kebersihan.
3.      Stakeholder forces. Strategi pendekatan proaktif terhadap manajemen lingkungan dibangun berdasarkan prinsip-prinsip manajemen, yakni mengurangi waste dan mengurangi biaya produksi, demikian juga respond terhadap permintaan konsumen dan stakeholder.
4.      Competitive requirements, semakin berkembangnya pasar global dan munculnya berbagai kesepakatan perdagangan sangat berpengaruh pada munculnya gerakan standarisasi manajemen kualitas lingkungan. Persaingan nasional maupun internasional telah menuntut perusahaan untuk dapat mendapatkan jaminan dibidang kualitas, antara lain seri ISO 9000. Sedangkan untuk seri ISO 14000 dominan untuk standar internasional dalam sistem manajemen lingkungan. Untuk mencapai keunggulan dalam persaingan, dapat dilakukan dengan menerapkan green alliances (Hartman dan Stafford, 1995). Green alliances merupakan partner diantara pelaku bisnis dan kelompok lingkungan untuk mengintegrasikan antara tanggungjawab lingkungan perusahaan dengan tujuan pasar.
Tindakan Manajemen Lingkungan: Faktor Internal
Berbagai dorongan di atas mengkondisikan perusahaan untuk melakukan manajemen lingkungan secara proaktif. Sistem manajemen proaktif merupakan sistem manajemen lingkungan yang komprehensif yang terdiri dari kombinasi lima (5) pendekatan, yaitu: (1) meminimalkan dan mencegah waste, (2) manajemen demand side, (3) desain lingkungan (4) product stewardship dan (5) akuntansi full-costing. 
Meminimalkan dan mencegah waste, merupakan perlindungan lingkungan efektif yang sangat membutuhkan aktivitas pencegahan terhadap aktivitas yang tidak berguna. Pencegahan polusi merupakan penggunaan material atau bahan baku, proses produksi atau praktek-praktek yang dapat mengurangi, miminimalkan atau mengeliminasi penyebab polusi atau sumber-sumber polusi. Tuntutan aturan dan cost untuk pengawasan polusi yang semakin meningkat merupakan faktor penggerak bagi perusahaan untuk menemukan cara-cara yang efektif dalam mencegah polusi.
Demand-side management, merupakan sebuah pendekatan dalam pencegahan polusi yang asal mulanya digunakan dalam dunia industri. Konsep ini difokuskan pada pemahaman kebutuhan dan preferensi konsumen dalam penggunaan produk, dan didasarkan pada tiga prinsip yang mendasar, yaitu: tidak menyisakan produk yang waste, menjual sesuai dengan jumlah kebutuhan konsumen dan membuat konsumen lebih effisien dalam menggunakan produk.
Desain lingkungan, merupakan bagian integral dari proses pencegahan polusi dalam manajemen lingkungan proaktif. Perusahaan sering dihadapkan pada in-efficiency dalam mendesain produk, misalnya produk tidak dapat dirakit kembali, di-upgrade kembali, dan di-recycle. Desain lingkungan (design for environmental) dimaksudkan untuk mengurangi biaya reprocessing dan mengembalikan produk ke pasar secara lebih cepat dan ekonomis.
Produk stewardship merupakan praktek-praktek yang dilakukan untuk mengurangi resiko terhadap lingkungan melalui masalah-masalah dalam desain, manufaktur, distribusi, pemakaian atau penjualan produk. Di beberapa negara telah muncul peraturan bahwa perusahaan bertanggung jawab untuk melakukan reclaim, recycling dan re-manufacturing produk mereka. Dengan menggunakan life-cycle-assesment (LCA) dapat ditentukan cara-cara perusahaan dalam mengurangi atau mengelimasi waste dalam seluruh tahapan, mulai dari bahan mentah, produksi, distribusi dan penggunaan oleh konsumen (Dias et al, 2004).
Full cost environmental accounting, merupakan konsep cost environmental yang secara langsung akan berpengaruh terhadap individu, masyarakat dan lingkungan yang biasanya tidak mendapatkan perhatian dari perusahaan. Full cost accounting berusaha mengidentifikasi dan mengkuantifikasi kinerja biaya lingkungan sebuah produk, proses produksi dan sebuah proyek dengan mempertimbangkan empat macam biaya, yaitu : (1) biaya langsung, (2) biaya tidak langsung, (3) biaya tidak menentu, dan (4) biaya yang tidak kelihatan, seperti biaya publik relation.
Kerangka Pemikiran Teoritis  dan Hipotesis
Menurut Berry dan Rondinelli (1998) dan Pfleiger et al (2005), kinerja lingkungan sangat dipengaruhi oleh adanya faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, serta faktor internal seperti kemauan manajemen untuk melakukan manajemen lingkungan secara proaktif sebagai bagian dari tanggungjawab sosial perusahaan. Masih menurut Rondinelli (1998), faktor ekternal tersebut dapat  juga mempengaruhi tindakan manajemen lingkungan yang selanjutnya mendorong manajemen untuk menciptakan kinerja lingkungan dan mengungkapkan kinerja tersebut dalam suatu laporan publik. Oleh karena itu, diyakini, bahwa faktor eksternal dapat mempengaruhi kinerja lingkungan melalui berbagai cara, misalnya sebagai variabel independen baik terhadap manajemen lingkungan maupun kinerja lingkungan, atau sebagai variabel pemoderasi terhadap hubungan antara tindakan manajemen lingkungandan pelaporan lingkungan.  Dengan mendesaian ulang berbagai indikator faktor eksternal manajemen lingkungan yang ditemukan Berry dan Rondinelli (1998), penelitian ini mengisolasi dorongan eksternal manajemen lingkungan tersebut menjadi variabel regulatory factors sebagai proksi variabel kebijakan pemerintah. Dengan demikian, kerangka pemikiran teritis penelitian dapat digambarkan sebagaimana Gambar 1. Skenario utama dalam model penelitian seperti tampak pada Gambar 1 tersebut adalah dengan membandingkan goodness of fit dari masing-masing model, untuk mengetahui sejauh mana peran kebijakan pemerintah terhadap pelaporan lingkungan.

Mendasarkan pada perumusan masalah, kajian teori dan kerangka pemikirasn teoritis yang telah dijelaskan tersebut, hipotesis penelitian dapat diungkapkan sebagai berikut:
Hipotesis 1:    Kebijakan pemerintah mempengaruhi tindakan manajemen lingkungan dan pelaporan lingkungan oleh perusahaan.

Hipotesis 2:  Kebijakan  pemerintah mampu mendorong pelaporan lingkungan oleh perusahaan melalui mediasi tindakan manajemen lingkungan.

Hipotesis 3:  Kebijakan pemerintah mampu memoderasi hubungan antara tindakan  manajemen lingkungan dengan pelaporan lingkungan.


METODE  PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Data penelitian diambil secara cross-section pada tahun 2005. Sumber data penelitian berasal dari data primer (respon responden tentang peran kebijakan pemerintah dan tindakan manajemen lingkungan perusahaan) dan data sekunder yang berupa data annual report obyek penelitian untuk mengetahui ada tidaknya pelaporan lingkungan perusahaan. Sampel penelitian diambil dari populasi pada domain obyek penelitian sebanyak 100 sampel secara purposive random sampling, dengan kriteria sebagai berikut: 1) obyek penelitian adalah seluruh perusahaan industri yang rentan menghasilkan limbah dan listing di BEJ pada tahun penelitian (2005). 2) Sumber data primer diwakili oleh manajer perusahaan yang menjadi obyek penelitian dengan kriteria manajer atau sub manajer yang memahami persoalan lingkungan atau pelaporan kinerja seperti bagian pengolahan limbah, bagian produksi, bagian akuntansi, bagian keuangan atau humas perusahaan. Item ini diketahui dari jawaban responden pada bagian identitas responden.
Penelitian ini melibatkan tiga variabel utama: 1) Kebijakan Pemerintah, 2) Tindakan Manajemen Lingkungan, dan 3) Pelaporan lingkungan. Variabel Kebijakan Pemerintah diisolasi dan modifikasi dari konsep "Dorongan Manajemen Lingkungan" yang diajukan oleh Berry dan Rondinelly (1998), yang meliputi dua indikator yaitu regulatory factor dan push factor. Regulatory factor merupakan persepsi manajer terhadap sejauh mana kekuatan undang-undang dan ketentuan pemerintah tentang lingkungan memberi dampak terhadap kepatuhan pengelolaan dan pelaporan lingkungan, sedangkan push factor merupakan intensitas berbagai program, tekanan dan insentif dari pemerintah terhadap pengelolaan lingkungan. Variabel tindakan manajemen lingkungan juga mengacu pada konsep Berry dan Rondinelly (1998) sebagaimana telah dipaparkan dalam tinjauan literatur, yang meliputi lima item. Seluruh item pernyataan diukur dengan skala ukur 6 skala. Jawaban 1 hingga 6 menunjukkan apresiasi “sangat tidak setuju” hingga “setuju”. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner via pos mail dan email, serta wawancara melalui telefon untuk memperoleh respon rate yang tinggi. Setelah memperoleh jawaban responden, lembar jawaban tersebut kemudian dikodifikasi untuk diidentifikasi asal perusahaan dan dikaji sumber data sekundernya, yaitu tentang ada tidaknya pelaporan lingkungan dalam annual report perusahaan.
Operasionalisasi Variabel
            Variabel penelitian dioperasionalisasikan dengan berbagai indikator sebagaimana ditunjukan pada Tabel 1,

Tabel 1. Definisi Operasional Variabel
No.
Variabel atau Konstruk
Manifes atau Indikator
1
X1 =
Kebijakan Pemerintah, adalah dorongan praktik manajemen lingkungan kepada perusahaan dari pemerintah, baik berupa undang-undang, peraturan, insentif & tekanan.
X1.1=
X1.2=

Regulatory factor
Push Factor
(Kedua indikator diukur dengan 6 skala, dengan ekspektasi tidak ada jawaban netral dari reponden).
2
X2 =
Manajemen lingkungan, adalah kesadaran internal manajemen untuk melakukan tindakan manajemen lingkungan aktif
X2.1 =

X2.2 =
X2.3 =
X2.4 =
X2.5 =  
Meminimalkan dan mencagah waste.
Management demand side
Desain Lingkungan
Product stewardship
Akuntansi fullcosting
Kelima indikator diukur dengan 6 skala, dengan ekspektasi tidak ada jawaban netral dari reponden)
3
Y=
Pengungkapan lingkungan, merupakan ada tidaknya pengungkapan lingkungan oleh perusahaan dalam annual report, atau laporan lainnya.
Y1.1
Non Metrik: angka 1 mewakili ada pengungkapan lingkungan, angka 0 mewakili tidak ada pengungkapan.




Pengujian Hipotesis. 
Hipotesis pertama dan kedua diuji dengan persaman:
1)      X2 = a + b1 X1, menggunakan analisis regressi linier
2)      Y  = a + b2 X1 + b3 X2, menggunakan analisis discriminant

Hipotesis kedua diuji dengan persamaan:
3)         3)   Y  = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 (X1.X2) dengan X2 sebagai moderating

HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Deskripsi data dan uji kualitas data.
Nilai statistik deskriptif dan hasil uji kualitas data disajikan dalam Tabel 2, dan secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1.
Tabel 2.  Statistik deskriptif dan uji kualitas data.
Deskripsi Responden
Keterangan
Jumlah
Gender
Laki-laki= 39, Perempuan = 14
Jabatan
Akuntansi/Keu= 30; Kelola Limbah= 15, R&D=3, Lainnya= 5
Pendidikan
S1 = 31; S2/S3 = 22
Deskripsi Data / Variabel
Variabel
Validitas
Reliabilitas
Normalitas
Kebijakan Pemerintah
Valid
0,815
Semua variabel berdistribusi normal dengan nilai skewness/standar error < 1,96
Manajemen Lingkungan
Valid
0,863

2.      Pengujian hipotesis
Hipotesis pertama dan kedua diuji menggunakan persamaan 1) dan 2) dengan variabel manajemen lingkungan sebagai variabel mediasi. Hasil pengujian persamaan pertama dengan regressi ditunjukkan pada lampiran 1 dan diringkas dalam Tabel 3.
      Tabel 3. Hasil pengujian persamaan pertama dengan regressi
X2        =          a         +          b1 X1
                        Koeffesien        9,336                1,449
                        t                       6,279                7,888
                        p-value             0,000                0,000               
     Sumber: data diolah
Persamaan 2) diolah dengan analisis diskriminan, hasilnya ditunjukkan pada lampiran 1 dan diringkas dalam tabel 4. Sedangkan hipotesis ketiga diuji dengan menggunakan analisis discriminant sebagaimana ditunjukkan pada persamaan 3. Hasil pengujian ditunjukkan pada lampiran 1 dan diringkas dalam Tabel 5.
Tabel 4. Hasil pengujian persamaan kedua dengan discriminant

Keterangan
Kebijakan Pemerintah
Manajemen Lingkungan
Kesimpulan
Test of Equality Group
l = 0,463, p = 0,00
l = 158, p = 0,00
Kedua variabel mampu sebagai pembeda.
Canonical Discriminant Function coeffecients
0,127
0,465
Konstanta= -10,551. Persamaam estimasi:
 Z = -10,551 + 0,127 X1 + 0,465 X2, dengan Wilk lambda l = 0,00 yang berarti fungsi diskriminant signifikan secara statistik
Standardized Canonical Discriminant Function coeffecients
0,220
0,921
Varibel manajemen lingkungan jauh lebih penting daripada variabel kebijakan pemerintah (regulation factors).
Cannocial Correlation
CR = 0,921; (CR2) = 0,848241
84,8% variasi perusahaan yang melakukan / yang tidak melakukan pelaporan lingungan dapat dijelaskan oleh variabel kebijakan pemerintah dan manajemen lingkungan.

Tabel 5. Hasil pengujian hipotesis kedua dengan discriminant
Keterangan
Kebiajakan Pemerintah
Manajemen Lingkungan
Intraksi manajemen lingkungan dgn kebijakan pemerintah
Kesimpulan
Test of Equality Group
l = 0,463,        p = 0,00
l = 0,158, p = 0,00
0,193, p=0,00
Ketiga variabel mampu sebagai pembeda.
Canonical Discriminant Function coeffecients
-1,145
-0,118
0,071
Konstanta= -0,585 Persamaam estimasi:
 Z = -0,585 + -1,145 X1- 0,118 X2 + 0,071 (X1.X2), dengan Wilk lambda l = 0,00 yang berarti fungsi diskriminant signifikan secara statistik
Standardized Canonical Discriminant Function coeffecients
-1,986
-0,233
2,674
Varibel interaksi manajemen lingkungan dengan kebijakan pemerintah jauh lebih penting daripada variabel lainnya.
Cannocial Correlation
CR = 0,942; (CR2) = 0,887364
88,7% variasi perusahaan yang melakukan / yang tidak melakukan pelaporan lingungan dapat dijelaskan oleh variabel kebijakan pemerintah dan manajemen lingkungan, serta interaksi keduanya.
PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian pada model A menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berperan mendorong tindakan manajemen lingkungan perusahaan, yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi X1 pada Tabel 3. Kebijakan pemerintah juga berpengaruh secara langsung terhadap pelaporan (pengungkapan) lingkungan perusahaan dalam annual report. Namun pengaruhnya secara tidak langsung (1,449 x 0,465 = 0,673785, Interaksi koeffesien X1 dan X2 pada Tabel 3 dan Tabel 4) jauh lebih besar daripada pengaruhnya secara langsung (Koeffesien X1 terhadap Y, pada tabel 4). Ini menunjukkan bahwa dalam hal pengungkapan lingkungan, variabel tindakan manajemen lingkungan jauh lebih penting dari pada variabel kebijakan pemerintah. Artinya, kebijakan internal manajemen perusahaan memegang peran utama dalam mengungkap manajemen lingkungan secara publik. Hal ini sesuai dengan kenyataan diterapkannya voluntary disclosure atas laporan lingkungan di Indonesia. Pengungkapan lingkungan, sepanjang masih bersifat sukarela, lebih banyak tergantung pada berbagai pertimbangan manajemen seperti strategi dan pencitraan perusahaan.
Pada model B menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah juga mampu mendorong terhadap tindakan manajemen lingkungan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan masih sebagai stimulator misalnya melalui berbagai program insentif dan penilaian prestasi. Dalam arti lain, responden memiliki persepsi bahwa sebaiknya pemerintah tidak menerapkan regulasi yang terlalu ketat seperti mewajibkan pelaporan lingkungan.
Dari hasil pengujian kedua model dapat dilihat bahwa nilai goodness of fit masing-masing adalah 0,848241 untuk model 1, sedangkan model kedua memiliki goodness of fit 0,887364. Hal tersebut mengindikasikan bahwa model kedua (model B dalam Gambar 1) lebih baik dibanding model pertama (Model A dalam Gambar 1), dimana kebjiakan pemerintah diberlakukan sebagai variabel moderator. Hasil empirik ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang perlu dilakukan adalah cukup memberikan insentif bagi pengelolaan dan pelaporan lingkungan oleh manajemen perusahaan. Sebagimana disebutkan bahwa bentuk insentif tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti penguatan law enforcement, keringanan pajak, dan penilaian prestasi yang berdampak pada nilai ekonomi saham perusahaan.  
Hasil perbandingan kedua model ini juga menunjukkan bahwa persoalan lingkungan merupakan tanggungjawab sosial bersama antara pemerintah dan perusahaan sebagai penyumbang utama pertumbuhan ekonomi dan pelestarian ekologi. Artinya, sejauh ini peran kebijakan masih relatif kecil dan kurang dominan terhadap kebijakan pelaporan lingkungan. Peran tersebut masih sebatas sebagai stimulator dibanding sebagai regulator.
Bukti empirik membuktikan temuan penelitian ini,  bahwa selama ini kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan lebih diarahkan pada kebijakan yang bersifat insentif. Demikian juga, masih belum ada keberanian dari pemerintah untuk memberlakukan mandatory disclosure bagi perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti belum adanya bentuk baku pelaporan lingkungan yang disepakati oleh para akuntan dan pelaku bisnis.





KESIMPULAN DAN KETERBATASAN
Kesimpulan   
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.        Kebijakan pemerintah tentang pelaporan lingkungan masih sebatas  sebagai pendorong perusahaan go publik dalam pengungkapan lingkungan dalam annual report.
2.        Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tindakan manajemen lingkungan perusahaan, namun dalam hal pelaporan lingkungan peran pemerintah kurang dominan dibanding dengan peran manajemen perusahaan secara internal.
3.        Interaksi antara kebijakan pemerintah dan tindakan manajemen lingkungan perusahaan merupakan faktor kunci pengelolaan lingkungan.

Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan terutama dalam hal aspek keterwakilan responden, yang hanya terbatas pada pelaku bisnis dan tidak melibatkan unsur penentu kebijakan, dalam hal ini Pemerintah. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menghubungkan secara jelas berbagai macam regulasi pemerintah kaitannya dengan praktik pengelolaan dan pelaporan lingkungan di lapangan yang diproksikan dari pelaku bisnis dan pemerintah, terutama Pemerintah Daerah sebagai pihak yang terimbas langsung persoalan dampak lingkungan. Penelitian lanjutan juga dapat diarahkan untuk sampel perusahaan non-publik, dengan sampel yang berasal dari industri yang lebih homogen. Penting juga dicermati mengenai kemungkinan standarisasi pelaporan lingkungan yang hingga sekarang belum ada di Indonesia.

Referensi:
Bates, GM. 2002. Environmental Law in Australia. (Sydney: Butterworths).

Belal, Ataur Rahman. 2000. Environmental Reporting in Developing Countries: Empirical evidence from Bangladesh. Eco-Management and Auditing. 7(3) .114.

Berry A Michael dan Dennis A Rondinelli. 1998. Proactive Corporate Environmental Management: A New Industrial Revolution. Academy of Management Executive. 12(2). 38-50.

Brown N. and C. Deegan.1998. The Public Disclosure of environmental performance information- dual test of media agenda setting theory and legitimacy theory. Journal Accounting and Business Reaserch. 29(1). 21-41.

Bertehelot, Sylvie; Denis Cormier; Michel Magnan. 2003. Environemntal Disclosure Research: eview and Synthesis. Journal of Accounting Review. 22. 1-44.

Cahyono, Budi. 2002. Pengaruh kualitas manajemen lingkungan terhadap kinerja pada industri manufaktur di Kota Semarang. Jurnal bisnis strategi Program MM Undip,
Vol. 9/Juli/Th.VII. Terakreditasi SK No. 118/DIKTI/KEP.2001.

Cormier, D. dan N. Magnan. 2001. La Communication d'information environnementalle: Un outil digestion at de creation de valeur. Electronic accounting review www.er.uqam.ca/novell/rec.

Cormier, D. Irene M Gordon, Michael Magnan. 2004. Corporate Environmental Disclosure; Contrasting Managements perception with reality. Journal of Business Ethices. 49. 143.

Cunnigham, Stacey, and D. Gaddene. 2003. Do corporation perceive mandatory publication of pollution information for key stakeholders as a legitimacy treath?. Journal of Environmental Assessment Policy and Management. 5(4). 523-549.

Deegan, C. and M. Rankin. 1996.  Do Australian Compagnies Report Environemntal Disclosure by Firms prosecuted successfully by environmental protection authority. Aacounting, Auditing & Accountability Journal. 9(2): 50-67.

Dias, Ana Claudia; Margarida Louro; Luis Arroja; Isabel Capela . 2004. Evaluation of the environmental performance of printing and writing paper using life cycle assessment. Management of Environmental. Vol. 15, No. 5.

Ferreira, Clementina. 2004. Environmental accounting: the Portuguese case, Management of Environmental. Vol. 15, No. 6.

Gamble, George O., et al. 1995. Environmental disclosure in annual report and 10Ks: an examination. Accounting Horizons. 9(3) 34-54

Ghozali, Imam.2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan SPSS (Badan Penebit Universitas Diponegoro, Semarang).

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS (Badan Penebit Universitas Diponegoro, Semarang).

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate Lanjutan dengan Program SPSS (Badan Penebit Universitas Diponegoro, Semarang).

Hartman L Cathy dan Stafford R Edwin. 1997. Green Alliances: Building New Business with Environmental Group. Long Range Planning. Vol. 30, no.2, pp. 184-196.

Jones dan T. Alabaster (1999), Critical Analysis of corporate environmental reporting scoring system. Journal of Environmental Assessment Policy and Management 1(1). 27-60.

Krut, R. & Munis, K. 1998. Sustainable industrial development: Benchmarking environmental policies and reports. Greener Management International. 21. 87–98

Muhammad Ja'far S., dan Dista Amalia, (2006), Pengaruh dorongan manajemen lingkungan, manajemen lingkungan proaktif fan kinerja lingkungan terhadap public environmental reporting, Simposium Nasional Akuntansi IX, UNAND, Padang.

Neu, D.H. Warsam dan K. Pedwell. 1998. Managing Public Impression: Environemntal disclosure in annual report. Accounting Organization and Society. 23(3). 265-286

Niskanen, Jyrki, dan Terhi Nieminen. 2001. The Objectivity of Corporate environemntal reporting: a study of finish listed firms' environemental disclosure. Business Strategy and The Environment. 10(1). 29.

Nyquis, Siv. 2003. The Legislation of environmental disclosure in three Nordic Countries – a comparisons. Bussiness Strategy and The Envronment. 12(1). 12.

Patten, D.M.1991. Exposure legitimacy, and social disclosure. Journal of Accounting and Public Policy. 10. 297-308.

__________ 1992. Intra Industry Environmental Disclosures in response to the Alaskan oil spill: a note on legitimacy theory. Accounting, Organization and Society. 17(5). 471-475.

_________, 2002. The relation between environmental performance and environmental disclosure: a research note. Accounting, Organization and Society. 27. 763-773.

Pflieger, Juli; Matthias Fischer; Thilo Kupfer; Peter Eyerer. 2005. The contribution of life cycle assessment to global sustainability reporting of Organization. Management of Environmental. Vol. 16, No. 2.

Richardson, A.J. and M. Welker. 2001. Social Disclosure, Financial Disclosure and The Cost of Capital. Journal Accounting, Organization and Society. 26(7/8). 597-616.

Roberts, C. (1991) Environmental disclosures: A note on reporting practices in mainland Europe. Accounting, Auditing and Accountability, 4(3), 62–71

Stanwick, Sarah D., dan Peter Stanwick. 2000. The Relationship Between Environemntal disclosure and financial performance: and empirical study of US Firms. Eco-Management  and Auditing. 7(4). 155.

Sembiring, Eddy Rismanda (2005), Karakteristik Perusahaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial: study empiris pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta. Seminar Nasional Akuntansi VII. Solo. 379-395.

Solomon, Aris, and Linda Lewis. 2002. Incentives and disincentives corporate environmental disclosure. Busines Strategy and The Environment. 11(3). 154.

Susi. 2005. The Relationship performance and financial performance among Indonesia Companies. Seminar Nasional Akuntansi VII. Solo. 37-45.

SustainAbility/UNEP (1997) Engaging Stakeholders: The 1997 Benchmark Survey —
The 3rd International Progress Report on Company Environmental Reporting (London: SustainAbility)

Welford, R.1998. Corporate Environmental Management (London: Eartscan Publication).

Wiseman, J. 1982. An evaluation of environmental disclosures made in corporate annual reports. Accounting, Organization and Society. 7(1). 53-63.










No comments:

Post a Comment